Likes Don’t Save Lives

Seberapa banyak dari kalian yang pernah menandatangani petisi online di situs-situs seperti change.org atau kickstarter.com? Mungkin membantu menyebarkan suatu isu di media sosial melalui retweet dan link sharing? Atau yang paling populer belakangan ini, menyumbangkan like pada fanpage suatu akun gerakan sosial atau foto yang berjanji akan melakukan amal apabila mencapai sejumlah angka likes? Bagi kalian yang pernah melakukan hal-hal tersebut, Anda dapat mengaku sebagai seorang aktivis dunia maya, atau yang dikenal dengan sebutan clicktivist.

Portmanteau dari kata click dan activist ini mengacu pada mereka yang melakukan aksi-aksi sosial melalui dunia maya – dengan meng-klik – untuk cause apapun. Menurut Oxford Dictionary, clicktivist berarti:

“The use of social media and other online methods to promote a cause.”

Penggunaan media sosial untuk penyebaran dan sosialisasi suatu isu memang terbukti mampu menggapai cakupan yang lebih luas dibandingkan media konvensional. Melalui media sosial, suatu isu dapat lebih cepat tersebar dan menyentuh lebih banyak orang. Namun pada perkembangannya, para aktor yang berperan dalam clicktivism ini mengalami pergeseran menjadi sesuatu yang dikenal dengan istilah slacktivism.

Berbeda dengan clicktivist yang secara sadar mendukung suatu gerakan sosial, para slacktivist memiliki kecenderungan untuk ikut-ikutan gerakan sosial apapun tanpa memahami apa yang mereka dukung. Contoh paling gampang ditemui adalah ajakan untuk meng-klik like pada suatu gambar atau akun suatu gerakan sosial seperti yang disebutkan diatas.

Your click can save the world!

Your click can save the world!

Gerakan slacktivism menjadi marak karena sifatnya yang low-commitment. Dengan menyumbangkan satu like, seseorang dapat merasa telah melakukan sumbangsih terhadap suatu gerakan sosial tanpa sebenarnya berbuat apa-apa.

“Slacktivism shows that young people in particular are happy to support a fashionable aim or cause when it doesn’t take much effort to do so.” – Metro UK

Padahal, jumlah like pada dasarnya tidak membantu pelaksanaan gerakan sosial selain membantu menyebarkannya. Gerakan sosial tetap membutuhkan sejumlah uang yang harus dicapai untuk dapat benar-benar berdampak pada masyarakat. Gawatnya, sifat para slacktivist yang hanya berpartisipasi memberikan like dianggap berpotensi menurunkan jumlah donasi karena mereka merasa telah berkontribusi tanpa benar-benar menyadari apa yang dibutuhkan oleh gerakan sosial tersebut. Dengan demikian, gerakan sosial hanya akan tersebar tanpa benar-benar mencapai tujuan utamanya. Hal inilah yang harus disadari oleh setiap orang yang berpartisipasi di gerakan sosial online karena; “Clicking likes don’t save lives. Money does.” – Unicef.

Septhiria.

Curating Your Life Through Social Media

Biasanya untuk menentukan judul suatu post, saya dapat menghabiskan waktu beberapa menit sendiri hingga akhirnya saya terbiasa menulis isi blog saya dahulu sebelum mencantumkan judul yang dirasa pas. Tapi untuk post kali ini agak berbeda. Saya langsung tahu apa judul yang mau saya pakai untuk blog minggu ini. Hasilnya, ya yang diatas itu. 

Saya rasa kata curator adalah kata yang paling pas saya gunakan untuk membahas perilaku kita dalam media sosial kali ini. Sebelum bicara lebih lanjut, berapa banyak akun media sosial (atau apapun di dunia maya) yang Anda miliki? Saya sendiri punya banyak ‘pribadi’ di dunia maya yang kita cintai ini, mulai dari Twitter, Facebook, Instagram, Pinterest, Tumblr, Path, LinkedIn, hingga berbagai akun blog yang saya tinggalkan begitu saja setelah lima atau enam post (ingat post pertama saya?). Belum lagi berbagai ‘pribadi’ di situs-situs (baca: situs fangirl dan ‘junk‘ lainnya) yang menuntut proses sign up dan profile updates sehingga kalau Anda mencari keyword ‘Septhiria Chandra’ di Google (tenang, saya yakin Anda tidak akan salah orang karena rasanya nama saya satu-satunya di dunia) Anda akan menemukan link menuju profil saya di berbagai situs.

Why do you need so many faces of yourself?

That’s a question I asked myself before I wrote this post. Saya rasa jawabannya adalah karena saya membutuhkan kategorisasi yang jelas untuk berbagai pribadi yang saya miliki. Don’t take it as ‘Dr. Jekyll and Mr. Hyde’ kind of way, but I think we all have several personalities and we need different places to channel them. Akun Facebook saya sudah tidak terlalu aktif lagi kini dan hanya saya gunakan untuk melihat foto/video dari berbagai kerabat atau link menarik yang di-share oleh siapapun (yang entah bagaimana menjadi teman saya di Facebook). Akun Tumblr dan Pinterest saya lebih banyak difungsikan untuk melihat konten media yang menurut saya menarik tanpa banyak berinteraksi dengan orang lain. Konten medianya pun berbeda, Tumblr untuk fangirling dan Pinterest untuk konten yang lebih eye-pleasing (ya know, hipster stuff that you can never achieve). Tentunya, akun LinkedIn mungkin yang paling jelas fungsinya bagi saya karena informasi mengenai pribadi saya di akun ini bersifat strictly professional stuff. Instagram, media sosial yang sangat terkenal belakangan ini, saya fungsikan sebagai ‘ajang pamer’ hasil karya (?) saya dalam bentuk foto atau video sedangkan Path merupakan media sosial yang saya gunakan hanya untuk teman-teman dekat (salah satu fitur favorit saya karena bersifat cukup personal). Terakhir, akun Twitter – sumber informasi utama saya – merupakan akun media sosial yang saya gunakan untuk menunjukkan diri saya yang lebih apa adanya kepada semua orang. See? Even though I’m just one person, I can manage my various personalities through various channels. Saya rasa tidak ada satu pun orang yang berteman dengan saya di seluruh media sosial yang saya sebutkan diatas. Jadi tidak heran apabila teman Facebook saya akan mengidentifikasi saya sebagai orang yang berbeda dibandingkan follower Twitter saya karena saya memang dengan hati-hati menyeleksi berbagai sisi pribadi saya untuk ditampilkan di akun media sosial tersebut. Apabila ada informasi yang memang ingin saya tampilkan di beberapa akun sekaligus, saya tinggal dengan mudah mencantumkan link ke media sosial tersebut (sebagai contoh, akun Twitter dan Instagram saya terintegrasi sehingga setiap kali saya nge-post sesuatu di Instagram, secara otomatis akun Twitter saya akan meng-update dengan tweet berisi link ke akun Instagram saya).

I became my own curator. I actively curate what I want to present and on which channel I want to present it.

Dan yang menjadi pertimbangan saya ketika menyeleksi suatu informasi adalah khalayak yang akan melihat bagian dari pribadi saya di media sosial tersebut. Hal ini dibahas Toshie Takahasi dalam artikelnya yang berjudul Youth, Social Media and Connectivity in Japan ketika ia berbicara mengenai sikap remaja Jepang dalam memilih media sosial mereka. Budaya Jepang yang bersifat high-context membuat mereka lebih memilih satu media sosial dibandingkan media sosial lainnya. Takahashi juga mengutip Couldry (2012);

” Today’s mobile phone-based youth cultures are of great interest, but they must be understood always in relation to local dynamics.”

Dinamika lokal yang dibahas oleh Takahashi adalah keberadaan uchi (“…refers to a sense of belonging together in family or social groups”) dan kuuki (“… refers to atmosphere of a situation to which all those involved are expected to pay respect”). As a part of society actively involved in the digital space, Japanese teenagers face a struggle in dealing with their uchi and kuuki. Ada masa dimana mereka merasa canggung berinteraksi dengan atmosfer kuuki yang kuat sehingga mereka memilih untuk menggunakan media tersebut untuk hal-hal yang bersifat ‘aman’ dan dapat diterima oleh siapapun. Akhirnya mereka mulai mencari media alternatif lain untuk berekspresi, yaitu melalui Mixi dan Line. Hal ini menjadi sesuatu yang menarik karena kita dapat melihat perkembangan pengguna media yang semakin aktif dalam memilih, mengkonsumsi dan memanfaatkan media. Once again, they curate themselves. 

How do YOU curate yourself?

Septhiria.

Medium is The Message (Not as Literal as It is)

Sebagai seorang mahasiswi ilmu komunikasi, konsep “Medium is The Message” dari Marshall McLuhan rasanya sudah sering berseliweran di berbagai mata kuliah wajib saya. Tapi baru minggu ini di kelas Konvergensi Media saya belajar untuk mencari tahu arti yang sebenarnya. Satu artikel yang benar-benar membantu saya untuk memahami konsep ini adalah What is the Meaning of The Medium is the Message? oleh Mark Federman. Meskipun terdengar sederhana, kalimat yang diperkenalkan oleh McLuhan di tahun 1964 ini nggak  bisa diterjemahkan secara literal karena apa yang dimaksud medium dan message oleh McLuhan akan bersifat paradoks. He was talking about other ways to interpret medium and message. Before writing about it further, I found this teasing comic made by Sarah See Andersen about how ridiculous our social media activity if it were acted in real life:

o-SOCIAL-MEDIA-IN-REAL-LIFE-570
Semenjak munculnya sebuah media sosial bernama Instagram, pemandangan sesi photoshoot sepiring makanan menjadi suatu hal yang lazim ditemui di meja makan restoran. Apa yang kita makan untuk makan siang menjadi suatu hal yang penting bagi kita untuk diketahui oleh orang lain. Padahal kalo dulu mah, makan ya makan ajaNggak perlu marah ketika makanan yang belum sempat Anda sentuh dicomot orang lain padahal belum sempat difoto (this happens a lot, trust me). Perubahan kebiasaan dan sikap kita ini merupakan salah satu contoh aplikasi konsep medium is the message yang disinggung di awal post. Ketika memaparkan konsep ini, McLuhan memiliki artian tersendiri terhadap kata medium dan message, dua kosakata komunikasi yang kita kira sudah jelas sehingga tidak perlu repot-repot lagi mencari artinya di kamus manapun. Dalam bukunya Understanding Media: The Extensions of ManMcLuhan mendefinisikan kata medium sebagai any extension of ourself’ dan message sebagai ‘the change of scale or pace or pattern that a new invention or innovation introduces into human affairs’. Jadi ketika kita berbicara mengenai konsep medium is the message milik McLuhan, kita tidak berbicara mengenai medium sebagai media pada umumnya – TV, radio, koran, dsb – dan message sebagai konten yang terkandung dalam media. Bagi McLuhan, konsep medium is the message berbicara tentang bagaimana semua karya dan inovasi yang merupakan perpanjangan tangan dari manusia (medium) memengaruhi dan memberi efek kepada masyarakat (message).
Perkembangan teknologi menjadi suatu hal yang penting untuk dibicarakan ketika kita membahas konsep ini. Tanpa adanya perubahan teknologi, medium tidak akan dapat berkembang dan dengan demikian juga tidak dapat memberi efek pada masyarakat. Lucky to us, the technology IS changing (continuously). Kita pun secara sadar tidak sadar – dan mau tidak mau – ikut mengalami efek dari perkembangan medium akibat collective intelligence dan bahkan menjadi aktor-aktor yang berperan didalamnya melalui participatory cultureSemua hal ini dimungkinkan oleh perubahan teknologi yang memengaruhi bentuk medium kreasi manusia dan efeknya baik secara makro maupun mikro.
Judging from the current condition, I think it’s logical to assume that ALL of us take part in shaping our medium and thus, determining the afterwards effect. The new technology has enable us to have more power and the wisest thing is to make use of it.